Jabatan di Pramuka Kayak Simpul Tali Temali, Susah Dilepas

Yuk Bagikan Artikel kami!

Sebuah poster kami dengan pesan nyeleneh “Jabatan di Pramuka kayak simpul tali temali, susah dilepas” belakangan ini viral di kalangan pegiat Pramuka difacebook. Pesan kami mengibaratkan betapa eratnya seseorang menduduki jabatan organisasi – diumpamakan seperti simpul tali yang terikat kuat dan sulit sekali dilepaskan. Humor bernada sindiran ini mengundang senyum sekaligus anggukan setuju dari banyak orang. Namun, di balik kelucuannya, tersimpan kritik sosial tentang budaya kepemimpinan dalam Gerakan Pramuka yang patut kita renungkan: mengapa ada pengurus yang bisa begitu lama menjabat, seolah-olah “simpul jabatannya” tak kunjung terurai?

Ilustrasi simpul tali: simpul yang terlampau kencang tentu sulit dilepas – sama halnya dengan jabatan yang sudah terlalu lama dipegang seseorang.

Jabatan Di Pramuka Kayak Simpul Tali Temali
Jabatan Di Pramuka Kayak Simpul Tali Temali

Sindiran Humor yang Menggelitik

Poster sindiran kami berhasil menggelitik sekaligus menyentil banyak pihak di organisasi Pramuka. Dengan gaya visual dan tagline jenaka, kritik dapat tersampaikan tanpa terasa menggurui. Beberapa orang menyebutnya “kritik lucu” – mengkritik tapi dengan cara yang membuat kita tersenyum miris.

Salah satu komentar warganet bahkan menuliskan dengan nada setengah bercanda setengah serius:

“Perasaan dari 15 tahun lalu masih menjabat, hanya geser kanan-kiri aja nih Kak… ndak mau adik-adiknya naik? Meniru para menteri di suatu negara.”

Kelakar tersebut menyindir fakta bahwa ada individu yang belasan tahun “setia” di posisinya – kalaupun berubah jabatan di pramuka, paling-paling hanya berpindah kursi ke posisi lain tetapi tetap di lingkaran pengurus inti. Ibarat reshuffle kabinet, orangnya itu-itu saja. Komentar “15 tahun masih menjabat, cuma geser kanan-kiri” ini mengundang tawa, tapi juga membuka mata: apakah regenerasi di tubuh Pramuka mengalami stagnasi?

Banyak yang teringat akan prinsip bahwa jabatan di Pramuka itu amanah, bukan warisan. Artinya, memegang jabatan di pramuka bukan untuk selama-lamanya apalagi diwariskan ke orang-orang tertentu saja. Sindiran humor tadi efektif menjadi cermin, memaksa kita bertanya: apakah semangat berbagi peran dan memberi kesempatan pada generasi berikutnya sudah luntur?

Respons Publik: Antara Tawa dan Keprihatinan

Respons publik atas poster tersebut beragam. Sebagian besar awalnya tertawa dan menganggapnya guyonan segar di tengah berita Pramuka. Namun, tak sedikit yang kemudian merasa prihatin ketika menyadari kebenaran di balik lelucon itu. Beberapa komentar di media sosial menunjukkan kombinasi antara humor, kritik, dan keprihatinan tadi:

  • Lucu tapi nyata: “Kritik ini lucu, tapi ya kenyataannya begitu, Kak,” tulis seorang netizen, menyiratkan bahwa fenomena pengurus yang “awet” di jabatan memang terjadi di banyak tempat.
  • Menyayangkan minimnya regenerasi: “Sudah lama nggak ada regenerasi yang jelas di kwartir kami,” keluh yang lain. Poster tersebut justru membuat mereka sedih karena anak-anak muda jarang muncul menggantikan senior yang itu-itu saja.

Beberapa komentar bahkan berubah menjadi diskusi saling melempar pandangan kenapa regenerasi sulit terjadi. Ada yang cenderung menyalahkan sikap generasi muda, namun ada pula yang menyoroti masalah sistemik organisasi:

“Yang muda nggak mau repot.” — keluh seorang pengguna Facebook, menganggap kaum muda enggan mengambil tanggung jawab sehingga posisi dipegang terus oleh senior.

“Bukan nggak mau diganti, tapi aturannya tidak menarik untuk yang muda.” — balas komentar lain, menuding aturan dan mekanisme organisasi yang kurang memberi ruang atau daya tarik bagi generasi muda untuk maju.

Dari dua pandangan di atas, terlihat adanya gap antara generasi. Pihak senior mungkin merasa junior kurang berinisiatif (“nggak mau repot”), sementara pihak muda menilai sistem yang ada tidak memberi mereka kesempatan berarti. Ujung-ujungnya, regenerasi mandek. Organisasi yang sehat seharusnya memiliki regenerasi berjalan; jika yang tua nggak mau lepas, yang muda hanya bisa jadi penonton. Sindiran poster tadi berhasil membuka percakapan tentang hal ini: bagaimana Gerakan Pramuka perlu memastikan roda regenerasi berputar, tidak diam di tempat.

Jabatan di Pramuka Kayak Simpul Tali Temali
Jabatan di Pramuka Kayak Simpul Tali Temali

Mengapa Sulit Melepas Jabatan?

Pertanyaan berikutnya: kenapa sih ada orang yang betah menjabat lama di Pramuka? Apa yang membuat “simpul” jabatan itu begitu susah dilepas? Berikut beberapa faktor yang kerap muncul dalam diskusi:

  • Zona Nyaman: Setelah sekian lama menjabat, seorang pengurus bisa terbiasa dengan kenyamanan dan rutinitas posisinya. Jabatan memberikan rasa aman, dihormati, dan menjadi bagian jati diri. Melepas jabatan berarti keluar dari zona nyaman tersebut, sesuatu yang tidak semua orang siap lakukan.
  • Kekuasaan dan Gengsi: Jabatan berarti pengaruh dan status. Wajar jika ada yang merasa berat melepas “kekuasaan” kecil yang melekat pada posisinya. Segelintir komentar pedas muncul, seperti “Kwartir seperti perusahaan pribadi”, menyindir oknum yang memperlakukan struktur kwartir layaknya milik sendiri – enggan melepaskan kendali karena menikmati gengsi dan kuasa sebagai “bos” di organisasi. Meski terdengar sarkastik, komentar ini menyuarakan kekecewaan terhadap mentalitas mempermanenkan jabatan di pramuka seolah organisasi adalah kerajaan pribadi.
  • Alasan Finansial: Secara resmi, jabatan di Gerakan Pramuka bersifat sukarela (voluntary). Tak ada gaji besar yang menanti, sehingga bagi kaum muda yang harus meniti karier dan keluarga, mengambil alih posisi bisa dianggap tidak sepadan dengan tenaga dan waktu yang dicurahkan. Seorang warganet bercanda sinis, “Kalau digaji kayak menteri, pasti banyak yang mau.” Maksudnya, andai jabatan Pramuka digaji tinggi, tentu rebutan peminat. Gurauan ini menyoroti kenyataan bahwa tanpa insentif materi yang jelas, tidak banyak anggota muda yang mau “berlomba” masuk struktural. Akibatnya, para senior yang mungkin sudah mapan dan memiliki waktu luang tetap bercokol di posisi – toh mereka tidak terlalu memikirkan gaji, dan mungkin mendapat manfaat lain seperti relasi, akses dana kegiatan, atau sekadar kepuasan mengabdi dengan cara mereka sendiri.

Selain faktor-faktor di atas, ada pula aspek psikologis dan budaya organisasi. Dalam budaya kita, kadang enggan menegur senior atau meminta mereka pensiun dari jabatan di pramuka karena dianggap kurang sopan. Sementara para senior mungkin merasa khawatir organisasi akan kacau tanpa mereka. Pola pikir “tidak ada yang bisa menggantikan saya” bisa muncul setelah bertahun-tahun memimpin. Padahal, tugas seorang pemimpin justru menyiapkan penerus. Tri Satya Pramuka menekankan kesediaan menolong sesama dan membangun masyarakat – ini mencakup juga membangun kader penerus, berbagi ilmu, dan memberi kesempatan orang lain memimpin.

Refleksi: Kembali ke Semangat Tri Satya dan Dasa Darma

Ujung dari polemik “simpul jabatan susah dilepas” ini seharusnya menjadi bahan renungan bersama bagi keluarga besar Pramuka. Gerakan Pramuka lahir untuk mendidik karakter, termasuk di dalamnya nilai-nilai kepemimpinan yang rendah hati, terbuka, dan berkelanjutan. Kita diingatkan kembali pada esensi Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka sebagai kompas moral:

  • Tri Satya, janji Pramuka yang antara lain berbunyi “…menolong sesama hidup dan ikut serta membangun masyarakat…”, mengandung makna bahwa memimpin itu bukan soal menikmati kekuasaan, melainkan bagaimana kita membantu orang lain tumbuh. Mengkader dan merelakan tongkat estafet kepada penerus adalah wujud menolong sesama dalam konteks organisasi.
  • Dasa Darma Pramuka mengajarkan antara lain bertanggung jawab, dapat dipercaya, serta ikhlas berbakti. Pemimpin yang baik akan bertanggung jawab memastikan organisasinya tetap hidup setelah ia lengser, dan dapat dipercaya untuk tidak menyalahgunakan jabatan demi ambisi pribadi. Setia, dalam Dasa Darma, bukan berarti setia pada jabatannya sendiri, melainkan setia pada cita-cita Pramuka. Artinya, setia melanjutkan perjuangan tanpa harus selalu menjadi nakhoda. Kadang, kesetiaan terbesar justru ditunjukkan dengan kesediaan mundur saat waktunya tiba, demi kebaikan bersama.

Pada akhirnya, kita semua – baik yang muda maupun yang senior – diajak untuk berefleksi. Apakah kepemimpinan di organisasi kita sudah mencerminkan semangat saling asah, asih, asuh? Apakah kita sudah mengamalkan janji dan kode kehormatan Pramuka dalam hal memegang jabatan di pramuka? Jangan sampai simpul-simpul kepemimpinan itu menjadi terlalu kencang terikat karena ego dan kenyamanan pribadi.

Marilah kembali ke semangat Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka. Jadikan nilai-nilainya sebagai landasan untuk menciptakan kepemimpinan yang berkelanjutan dan terbuka di tubuh Gerakan Pramuka. Dengan demikian, regenerasi akan berjalan alami, para senior pun dikenang bukan karena berapa lama mereka menjabat, tapi karena dedikasi mereka menyiapkan penerus. Simpul tali yang kuat pun bisa dilepas dengan baik jika kita longgarkan dengan kehikhlasan. Saatnya Pramuka membuktikan, bahwa setiap amanah jabatan akan dilepas pada waktunya, diteruskan kepada generasi berikutnya dengan jiwa besar dan senyum bangga – sebagaimana layaknya keluarga besar Pramuka yang berpegang teguh pada Tri Satya dan Dasa Darma.

Advertisements

Yuk gabung Whatsapp Channel kami!
Follow kami di Telegram! & Instagram

Yuk Bagikan Artikel kami!
Pramuka Update
Pramuka Update

Media Pramuka Independent yang memiliki misi menjadi media pramuka rujukan dalam berlatih pramuka. Visi Pramuka Update adalah membangun konten siapapun dan dimanapun bisa mengakses materi pramuka terbaru dan terupdate.

Kontak kolaborasi & media partner WA 0877-2264-2882

Articles: 276

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *